BUSANA — Di Gunung Kidul, Yogyakarta, terdapat sebuah dusun kecil bernama Wota-Wati yang sedang bertransformasi menjadi desa wisata yang memikat. Dengan konsep kuno ala kerajaan Majapahit dan Mataram, dusun ini menggabungkan keindahan alam, tradisi lokal, dan seni desain modern. Wota-Wati tidak hanya menawarkan pengalaman wisata, tetapi juga menjadi simbol keberanian untuk bersinar di tengah keterbatasan.
Terletak di lembah aliran Sungai Bengawan Solo Purba, Wota-Wati memiliki karakteristik unik: fenomena matahari terbit yang lebih lambat dibandingkan daerah lain, sementara matahari tenggelam hadir lebih cepat. Minimnya paparan sinar matahari menciptakan suasana yang pudar dan mistis, namun justru menjadi daya tarik tersendiri.
Desainer Lia Mustafa , memotret fenomena yang terjadi di Wota-Wati secara ekspresif. Dia memanfaatkan psikologi warna untuk membangun rasa percaya diri komunitas lokal melalui penataan arsitektur baru yang mencerminkan kekuatan dan keteguhan. Sentuhan desain ini menciptakan harmoni antara modernitas dan kekayaan budaya tradisional.
Bagi para Soul Searchers, Wota-Wati menawarkan kesempatan untuk merenungi keindahan hidup yang sederhana. Desa ini memancarkan romantisme melalui hasil kerajinan lokal yang masih menggunakan teknik tradisional. Tenunan kasar, macrame, dan anyaman menjadi aksen busana yang memikat dan autentik. Unsur-unsur ini mencerminkan kearifan lokal dan menghormati keterampilan tangan penduduk desa. Setiap karya mengandung cerita, menciptakan koneksi yang mendalam antara pengunjung dan lingkungan sekitar.
Desain busana dan tekstil yang diangkat dari tema Jogja-Bali vibes memberikan dimensi baru pada pengalaman di Wota-Wati. Tekstil seperti lurik Jogja, tenun Lombok, tenun endek Bali, dan tenun Jepara dirancang dengan bahan linen catoon dan sateen untuk menciptakan koleksi etnik modern yang chic dan kasual. Motif bunga serta simbol tradisional menjadi penanda rasa cinta pada alam. Palet warna yang digunakan, seperti cream, abu-abu, dan maroon, memiliki makna filosofis yang mendalam. Warna maroon melambangkan keberanian, gairah, dan ambisi, sedangkan abu-abu memancarkan keseriusan dan kemandirian. Warna cream menambahkan kesan hangat, nyaman, dan menenangkan, menjadikan koleksi ini sebagai perwujudan harmoni.
Aplikasi desain seperti penggunaan rope dan zipper memberikan detail praktis sekaligus artistik pada busana. Dipadukan dengan aksesori seperti topi rajut dan bros berzipper, setiap elemen mencerminkan gaya etnik modern yang unik. Sepatu Keewa menjadi pelengkap sempurna, menambah sentuhan kasual pada koleksi ini.
Bagi Lia, Wota-Wati bukan sekadar destinasi wisata; tetapi ia adalah perwujudan semangat untuk bangkit dan beradaptasi. Dalam kesederhanaannya, desa ini menyimpan kekayaan nilai yang menginspirasi.
Dengan estetika kolosal, keindahan kerajinan lokal, dan filosofi desain yang mendalam, Lia Mustafa berhasil menghidupkan jiwa Wota-Wati berhasil dalam karya rancangan busana yang sangat indah. Hal ini menjadi bukti nyata bahwa harmoni antara budaya, alam, dan modernitas meruoakan sebuah keindahan yang dapat diabadikan dalam berbagai media, termasuk busana. (*/Sulist Ds )