POLITIK — Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) adalah momentum penting dalam demokrasi Indonesia. Sebagai mekanisme yang memberi kesempatan bagi rakyat untuk memilih pemimpin lokal, Pilkada memainkan peran vital dalam menentukan arah pembangunan daerah. Namun, dalam prosesnya, Pilkada kerap diwarnai oleh isu yang kompleks, salah satunya adalah praktik mahar politik . Fenomena ini menjadi perhatian serius karena bertentangan dengan prinsip demokrasi yang menjunjung keadilan dan transparansi.
Mahar politik merujuk pada pemberian sejumlah uang atau bantuan materi oleh calon kepala daerah kepada partai politik sebagai syarat untuk mendapatkan dukungan. Praktik ini sering kali terjadi di balik layar dan menjadi rahasia umum. Hal ini, tidak hanya mengikis nilai demokrasi, tetapi juga menciptakan beban bagi calon kepala daerah, yang pada akhirnya berpotensi mendorong mereka untuk “mengembalikan modal” ketika terpilih melalui praktik korupsi atau kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat.
Menurut hukum, mahar politik dilarang. Pasal 228 Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyebutkan bahwa partai politik tidak boleh meminta imbalan dalam bentuk apa pun untuk memberikan dukungan. Namun, implementasi aturan ini di lapangan masih jauh dari kata sempurna. Lemahnya pengawasan dan minimnya bukti yang dapat dikumpulkan menjadi alasan mengapa praktik ini tetap subur.
Ada beberapa faktor yang membuat mahar politik terus terjadi. Pertama, tingginya biaya politik di Indonesia. Kampanye, survei elektabilitas, dan logistik lainnya memerlukan dana besar, yang sering kali sulit dijangkau oleh calon independen atau calon dengan sumber daya terbatas. Kedua, partai politik sering kali melihat Pilkada sebagai ladang investasi untuk mengamankan kepentingan finansial dan politik jangka panjang.
Ketiga, lemahnya sistem rekrutmen di tubuh partai politik. Alih-alih memilih kandidat berdasarkan kapabilitas, integritas, dan rekam jejak, partai sering kali mengutamakan calon yang mampu memberikan mahar tinggi. Hal ini mempersempit peluang kandidat berkualitas yang tidak memiliki modal besar untuk berkompetisi secara adil.
Praktik mahar politik membawa dampak serius. Pertama, kualitas kepemimpinan daerah menurun karena proses seleksi tidak berdasarkan kemampuan. Kedua, munculnya korupsi yang merajalela akibat pemimpin terpilih lebih fokus mengembalikan biaya yang telah dikeluarkan daripada melayani rakyat. Ketiga, menurunnya kepercayaan publik terhadap sistem politik, yang berujung pada apatisme masyarakat dalam proses demokrasi.
Solusi
Mahar politik bukanlah masalah tanpa solusi. Langkah pertama adalah memperkuat pengawasan dan penegakan hukum. Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan aparat penegak hukum harus bekerja sama untuk mendeteksi dan menindak praktik ini. Selain itu, reformasi sistem pendanaan politik juga penting, seperti memberikan subsidi dana kampanye yang transparan kepada partai politik.
Pendidikan politik kepada masyarakat juga perlu ditingkatkan agar publik lebih kritis dalam memilih pemimpin dan menuntut transparansi dari partai politik. Dengan demikian, Pilkada dapat kembali menjadi ajang kompetisi yang sehat, adil, dan demokratis.
Pemberantasan mahar politik adalah langkah penting untuk menjaga integritas demokrasi lokal. Jika praktik ini tidak segera diatasi, maka demokrasi di tingkat daerah hanya akan menjadi panggung para oligarki, sementara rakyat tetap menjadi penonton tanpa suara. (*/)