SASTRA — Pekan ini, para pegiat sastra di Kota Yogyakarta tengah berlebaran dengan digelarnya Festival Sastra Yogyakarta. Sejumlah agenda sastra digelar dengan tujuan untuk membangkitkan minat masyarakat terhadap karya-karya sastrda dari para sastrawan nusantara.
Namun, ada sosok yang terlewatkan dalam perbincangan, sehingga Festival Sastra ini terasa kurang lengkap. Dialah Ebiet G Ade. Musisi yang terlahir dengan nama asli Abid Ghoffar Aboe Dja’far, adalah salah satu musisi legendaris Indonesia yang dikenal dengan lirik-lirik lagunya yang sarat makna sastra.
Ebiet memang tidak seperti Joko Pinurbo yang berkarya dan bermukim di Jogja. Tetapi, pria kelahiran 21 April 1954 di Wanadadi, Banjarnegara, ini memiliki hubungan yang erat dengan perkembangan dunia sastra di Yogyakarta, kota yang menjadi tempatnya menempa diri sebagai seniman.
Ebiet pindah ke Yogyakarta pada tahun 1970-an untuk melanjutkan pendidikan di SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta. Di kota inilah bakat seninya mulai tumbuh dan berkembang. Awalnya, Ebiet lebih dikenal sebagai penyair. Ia kerap membacakan puisi di berbagai acara seni dan kebudayaan. Lingkungan budaya yang kaya di Yogyakarta, dengan atmosfer kota yang penuh seniman dan budayawan, menjadi ladang subur bagi perkembangan kreativitasnya.
Pada masa itu, Yogyakarta memang dikenal sebagai salah satu pusat perkembangan sastra Indonesia. Komunitas sastra, seperti Persada Studi Klub yang didirikan oleh penyair legendaris Umbu Landu Paranggi, menjadi tempat berkumpulnya para penyair muda.
Ebiet aktif di komunitas ini, di mana ia mendapatkan bimbingan dan inspirasi dari para seniornya. Di sini, ia mulai mengubah puisinya menjadi lagu, menciptakan karya yang unik dengan perpaduan antara musik dan sastra.
Lirik-lirik lagu Ebiet G Ade memiliki keunikan tersendiri. Sebagian besar lagu-lagunya berisi kritik sosial, refleksi kehidupan, dan hubungan manusia dengan alam serta Tuhan. Ini tidak terlepas dari pengaruh latar belakang sastranya. Lagu seperti Berita Kepada Kawan, Titip Rindu Buat Ayah, dan Camellia menunjukkan kekuatan penyampaian pesan melalui kata-kata yang puitis dan mendalam.
Gaya lirik Ebiet yang melankolis dan filosofis tidak hanya memikat pendengar musik, tetapi juga menginspirasi para penulis dan penyair di Indonesia. Ia membuktikan bahwa sastra tidak hanya dapat hidup di panggung puisi atau buku, tetapi juga dapat menjadi elemen penting dalam musik populer.
Peran Yogyakarta sebagai Pusat Sastra
Yogyakarta, sebagai kota pendidikan dan budaya, memiliki peran besar dalam perjalanan karier Ebiet G Ade. Kehidupan sastra di kota ini sangat dinamis, dengan hadirnya berbagai kelompok seni dan penerbitan sastra. Festival sastra, acara pembacaan puisi, dan diskusi budaya kerap diadakan di tempat-tempat seperti Taman Budaya Yogyakarta dan benteng Vredeburg.
Selain Umbu Landu Paranggi, banyak sastrawan lain dari Yogyakarta yang memberikan kontribusi besar, seperti Emha Ainun Nadjib dan Sapardi Djoko Damono. Kehadiran mereka menciptakan ekosistem sastra yang mendukung generasi muda untuk terus berkarya.
Sebagai musisi, Ebiet G Ade adalah salah satu contoh bagaimana seni dapat menjadi jembatan antara sastra dan musik. Ia telah membuktikan bahwa karya seni yang mengutamakan nilai estetika dan pesan mendalam tetap dapat diterima luas oleh masyarakat.
Peran Ebiet dalam dunia sastra dan musik Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pengaruh lingkungan sastrawi di Yogyakarta. Kepekaannya terhadap isu-isu sosial dan kemanusiaan, yang tertuang dalam lirik lagunya, menjadikan dirinya ikon yang tak tergantikan.
Di tengah perubahan zaman, karya-karya Ebiet G Ade tetap relevan. Ia mengingatkan kita bahwa sastra dan musik memiliki kekuatan untuk menyentuh hati dan menyampaikan pesan-pesan yang abadi. Dengan latar belakang Yogyakarta sebagai kota budaya, ia menjadi bukti nyata bahwa seni dapat melintasi batas-batas medium dan terus hidup di hati masyarakat. (*/Sulist Ds )